Gagasan pembangunan TMII berasal dari Siti Hartinah Soeharto, yang lebih dikenal sebagai Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Pada tahun 1971, dalam sebuah rapat Yayasan Harapan Kita, Ibu Tien menyampaikan keinginan untuk menciptakan sebuah taman yang mampu menampilkan kebhinekaan budaya Indonesia dalam bentuk yang mudah dipahami oleh masyarakat, termasuk generasi muda. Beliau percaya bahwa untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa, masyarakat Indonesia harus memahami dan menghargai keragaman budaya yang ada. Dari sinilah muncul ide untuk membangun taman yang menampilkan rumah adat dari berbagai provinsi, kesenian tradisional, pakaian adat, hingga kepercayaan dan adat istiadat dari seluruh Nusantara.
Tradisi Fahombo Batu adalah ritual melompati tumpukan batu setinggi sekitar 2 meter yang dilakukan oleh para pemuda Nias. Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan ketangkasan, tetapi simbol bahwa seorang pria telah mencapai kedewasaan dan kejantanan. Di masa lalu, seorang pemuda belum dianggap dewasa secara sosial jika belum bisa melakukan lompat batu. Bahkan, dia tidak diperbolehkan menikah atau menjadi prajurit perang sebelum berhasil melompati batu tersebut. Ini menjadi semacam "ujian wajib" untuk memasuki fase hidup yang lebih tinggi dalam masyarakat. Para pemuda Nias berlatih sejak usia muda untuk bisa melakukan lompat batu. Latihan ini melatih kekuatan, keberanian, dan keseimbangan tubuh — semua kualitas yang dianggap penting untuk seorang laki-laki dewasa dalam budaya Nias.
TONGKAT TUNGGAL PANALUANG
Tongkat Tunggal Panaluan adalah sebuah artefak ritual yang amat sakral dan sangat dihormati dalam kebudayaan suku Batak Toba di Sumatera Utara. Lebih dari sekadar alat bantu, tongkat ini diyakini memiliki kekuatan supranatural yang dahsyat dan memegang peranan sentral dalam berbagai upacara adat serta ritual keagamaan tradisional masyarakat Batak.
Asal-usul tongkat ini diselimuti oleh mitos dan legenda yang kuat. Kisah yang paling sering diceritakan adalah tentang sepasang kakak beradik yang, karena melakukan hubungan terlarang, dikutuk oleh dewa dan diubah menjadi sebuah pohon. Pohon inilah yang kemudian dipahat dan diukir secara rumit menjadi Tongkat Tunggal Panaluan oleh para Datu (pemimpin spiritual atau dukun) Batak. Ukiran pada tongkat seringkali menampilkan deretan sosok manusia yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari bagian bawah hingga atas, yang diyakini melambangkan para leluhur, dewa, atau bahkan korban kutukan itu sendiri, dengan setiap pahatan mengandung makna simbolis yang mendalam.
Dalam masyarakat Batak Toba di masa lalu, Tongkat Tunggal Panaluan memegang peranan vital di tangan para Datu. Tongkat ini digunakan untuk berbagai keperluan ritual, seperti membimbing roh-roh dalam upacara kematian, menolak bala atau mengusir roh jahat dari desa, memanggil hujan di kala kekeringan, serta dalam ritual penyembuhan penyakit. Kehadirannya sering menjadi penanda keabsahan dan kesakralan suatu upacara adat.
Asal-usul nama minangkabau
Nama Minangkabau memiliki sejarah yang kaya dan mendalam, berakar dari sebuah peristiwa yang penuh kearifan lokal dan kecerdikan. Kisah ini bermula ketika Kerajaan Majapahit, sebuah imperium besar yang terkenal dengan kekuatan militernya, berniat untuk menaklukkan wilayah Minang. Masyarakat Minang, yang dikenal menjunjung tinggi perdamaian namun memiliki harga diri yang tinggi, menolak untuk terlibat dalam perang terbuka yang berpotensi menumpahkan banyak darah. Mereka mengajukan sebuah proposal yang tak terduga kepada pihak Majapahit: adu kerbau sebagai ganti peperangan, sebuah tantangan yang menunjukkan bahwa kekuatan fisik bukan satu-satunya jalan menuju kemenangan.
Pihak Majapahit, merasa yakin akan dominasi dan kekuatan kerbau-kerbau mereka yang besar dan perkasa, dengan sombongnya menyetujui usulan tersebut. Mereka memandang remeh tantangan tersebut, menganggapnya sebagai cara mudah untuk menunjukkan superioritas tanpa perlu mengerahkan seluruh kekuatan militer. Namun, mereka tidak menyadari bahwa masyarakat Minang telah menyiapkan sebuah strategi yang sangat cerdik dan jauh dari dugaan. Alih-alih memilih kerbau dewasa yang kuat, masyarakat Minang justru memilih seekor anak kerbau kecil yang baru lahir dan memasangi ujung tanduknya dengan pisau tajam yang diikatkan dengan erat, sebuah taktik yang mengandalkan naluri alami dan kecerdasan.
Saat arena adu kerbau dibuka, pemandangan yang tak terduga pun terjadi. Anak kerbau Minang, begitu dilepaskan, tidak berlari untuk bertarung secara langsung. Melainkan, dengan insting alaminya mencari puting susu induknya, ia langsung menuju ke arah kerbau besar Majapahit. Karena kerbau besar Majapahit tidak memiliki puting susu, anak kerbau kecil itu terus menerjang-nerjang perut kerbau lawan, dan tanpa disengaja, pisau-pisau di tanduknya merobek perut kerbau Majapahit hingga akhirnya roboh. Kemenangan ini, yang dicapai tanpa pertumpahan darah dan murni melalui kecerdikan, menjadi simbol kehebatan akal budi masyarakat Minang. Dari peristiwa "Menang" (yang berarti kemenangan) dan "Kabau" (yang berarti kerbau), lahirlah nama Minangkabau.